Presiden Joko Widodo populer dengan pembangunan infrastruktur di Tanah Air. Dalam sejumlah survei, kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi mayoritas ditopang isu infrastruktur, baik periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya.
Citra sebagai bapak infrastruktur Indonesia melekat kuat dalam persona Jokowi. Bandara baru, jalan tol baru, kereta cepat, bendungan, serta infrastruktur megah dan modern lainnya benar-benar gencar dibangun sejak menjabat pada 2014.
Bahkan, jargon pembangunan tidak lagi terfokus di Jawa. Seluruh daerah di Indonesia menjadi roh kebijakan infrastruktur era Jokowi. Dan, mungkin memang seperti itulah Jokowi, ingin ditulis dalam sejarah bangsa ini setelah dirinya lengser tahun depan sebagai bapak infrastruktur Indonesia.
Sikap Jokowi ketika merespons jalan rusak di Lampung seakan mencerminkan bahwa tidak boleh ada infrastruktur jelek dan rusak di era pemerintahannya. Ketika pemerintah daerah tidak tanggap, Jokowi datang dengan langkah pengambilalihan.
Kontroversi jelas mengiringi kebijakan akrobatik Presiden tersebut. Ada yang mengapresiasi karena bertindak cepat dan tidak birokratis, tetapi ada pula yang menilai langkah Jokowi sekadar gimik politik dan tidak mendidik bagi pemerintah daerah.
Apalagi dengan datang mengendarai mobil kepresidenan Mercedes-Benz S600 menyusuri jalanan rusak parah, makin menunjukkan nuansa komunikasi politik yang kental. Pasalnya, medan untuk mobil sedan mewah semacam itu harusnya di jalanan mulus, bukan untuk inspeksi.
Urusan gimik politik itulah yang membuat Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membuat penilaian bahwa Jokowi ibarat pahlawan kesiangan. Presiden, dengan kewenangannya, semestinya menegur keras Gubernur Lampung dan jajarannya. Kalau perlu jatuhkan sanksi tegas karena tidak cepat tanggap.
Pengambilalihan proyek jelas-jelas tidak menunjukkan good governance dan clean goverment. Bahkan berdampak buruk terhadap sistem penganggaran yang telah berjalan. Apalagi, pengelolaan infrastruktur jalan memiliki hierarki.
Pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap jalan nasional, sedangkan jalan provinsi ialah kewenangan pemerintah provinsi (pemprov). Begitu pula jalan kabupaten, yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten (pemkab).
Sekali lagi, kebijakan Jokowi di Lampung bakal menjadi preseden buruk. Artinya, tidak ada sinkronisasi dalam pengelolaan infrastruktur. Padahal proses penganggaran di pemerintahan memiliki sarana untuk menyatukan program pemerintah, termasuk kebijakan infrastruktur lewat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional. Semua pihak tentu sepakat bahwa pengelolaan infrastruktur jalan harus terencana dengan matang, bukan dengan mental dadakan hanya karena viral di media sosial.
Bisa dibayangkan bagaimana kelabakannya pemerintah pusat jika harus bertindak serupa jika muncul kasus serupa dari seluruh daerah. Pasalnya, jalan rusak tidak hanya di Lampung. Sorotan di Lampung ibarat fenomena gunung es.
Rakyat tentu berharap Jokowi tidak hanya dikenang dengan aksi-aksi akrobatik seperti di Lampung, tetapi benar-benar mampu membangun sistem pengawasan dan evaluasi untuk menjadikannya solusi permanen demi pembenahan anggaran infrastruktur di daerah.