Ekonomi • 2 months ago
Kabar kurang sedap menjadi oleh-oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani usai menghadiri pertemuan Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Gujarat, India, pekan lalu. Pada pertemuan itu, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara anggota G20 sepakat kondisi ekonomi global belum kembali ke kondisi normal.
Alih-alih bangkit, ekonomi global malah melemah. Bahkan ekonomi negara maju yang selama ini menjadi lokomotif ekonomi dunia juga sedang loyo.
Hal itu terlihat dari data Purchasing Managers' Index (PMI) negara maju yang banyak mengalami kontraksi. Sebut saja Jerman, Inggris, Jepang, Prancis, dan Italia. Begitu pula Afrika Selatan, Brasil, Singapura, dan Malaysia. Negara-negara itu bagian dari 61,9% negara-negara di dunia yang mengalami kontraksi PMI.
Ada pula negara-negara yang manufakturnya mengalami ekspansi, namun lajunya sudah melambat. Jumlahnya sekitar 23,8%, antara lain Tiongkok, Thailand, Filipina, India, dan Rusia.
Kita boleh berbangga diri karena Indonesia bukan bagian dari 61,9% itu. Dalam survei PMI, manufaktur Indonesia masih masuk ke 14,3% negara-negara di dunia yang mengalami ekspansi, bahkan terus terakselerasi.
Namun tetap perlu diwaspadai, para raksasa manufaktur yang tengah goyah itu adalah negara-negara yang selama ini memiliki pengaruh besar pada perdagangan dunia. Mau sedikit atau banyak, situasi mereka tetap menentukan kinerja perekonomian global.
Pemerintah mesti mewaspadai efek domino dari pelemahan ekonomi global tersebut. Jika mau jujur, efek itu sebenarnya sudah mulai terasa sejak akhir tahun lalu, saat tren surplus neraca perdagangan mulai menurun.
Hingga Juni 2023, Indonesia memang berhasil mempertahankan surplusnya neraca dagang selama 38 bulan berturut-turut. Namun saat harga-harga komoditas utama mulai menuju titik normal pada paruh kedua 2022, nilai surplus terus turun hingga kini.
Per Juni 2023, ekspor kita turun 21,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$20,61 miliar. Impor juga turun 18,3% menjadi US$17,15 miliar.
Hal itu tak lepas dari situasi ekonomi dunia yang melemah, permintaan atas barang ekspor yang menurun, termasuk harga komoditas yang mulai turun.
Pekan lalu, Asian Development Bank (ADB) telah mengingatkan pertumbuhan ekspor Indonesia diperkirakan melambat pada tahun ini. Rendahnya permintaan global diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir tahun.
ADB juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini mentok di 4,8%, turun dibandingkan tahun lalu sebesar 5,31%. Normalisasi kegiatan masyarakat, lewat pencabutan status dari pandemi menjadi endemi covid-19, juga tak banyak mendongkrak permintaan domestik.
Dalam laporan ADB pula, pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara diperkirakan melambat ke 4,6% pada tahun ini dan 4,9 persen tahun depan.
Pemerintah tentunya harus mencari formula jitu untuk menghadapi suramnya situasi saat ini. Misalnya saja dengan mencari pasar baru sebagai negara tujuan ekspor kita. Indonesia tak bisa melulu mengharapkan negara-negara besar sebagai mitra dagangnya karena ekonomi mereka sedang lesu.
Jika berani, pemerintah mengambil langkah radikal, beralih dari export-led growth menjadi domestic demand-led growth.
Pemerintah juga harus mencari dan menggenjot sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Mulai dari hilirisasi sumber daya alam yang memiliki nilai tambah tinggi, penggunaan produk lokal, akselerasi ekonomi digital, ekonomi hijau, hingga penguatan UMKM.
Sebuah upaya berat bagi pemerintah tentunya, apalagi di tahun politik seperti saat ini. Semua mahfum, para menteri yang berasal dari parpol saat ini juga dituntut fokus untuk memenangkan partai pada Pemilu 2024.
Namun demikian, para pembantu presiden harus tetap menomorsatukan kerja di kabinet sesuai sumpah jabatan. Membendung laju pelemahan ekonomi global perlu kerja keras para menteri, khususnya di bidang ekonomi. Jika tidak sanggup, angkat bendera putih dan mundur dari jabatan.